Baden Powell, dalam buku Aids To Scoutmastership (1919), menjelaskan pentingnya penyesuaian pola pembinaan atau pelatihan kepramukaan dalam setiap kelompok usia peserta didik. Salah satu kriteria yang dibutuhkan oleh seorang Pembina adalah mengetahui kejiwaan dan kebutuhan peserta didik pada usia yang berbeda-beda. Hal tersebut sangat terkait dengan psikologi perkembangan manusia yang mengalami perubahan pada setiap fase kehidupannya. Baden Powell berharap bahwa yang paling utama dari kepanduan (kepramukaan) adalah pembentukan karakter, keterampilan dan kegemaran, kebugaran atau kesehatan fisik, dan kerelawanan atau pelayanan masyarakat. Karena sasaran pendidikan kepramukaan adalah anak-anak dan pemuda, maka program pembinaan disusun berdasarkan tingkatan usia dari anak-anak dan pemuda itu sendiri.
Penggolongan usia ini merupakan salah satu hal mendasar dalam menjalankan sebuah konsep pendidikan. Baden Powell sendiri membagi usia peserta didik menjadi Cub (pramuka berusia kanak-kanak), Scout (pramuka berusia remaja awal), dan Rover (pramuka berusia remaja akhir/ usia menjelang dewasa).
Seiring perkembangannya, setiap negara di seluruh dunia menggolongkan usia peserta didik dalam program dan pola yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan budaya masing-masing. The Scout Association di Inggris membagi peserta didik menjadi Squirrel (4-6 tahun), Beaver (6-8 tahun), Cub (8-10½ tahun), Scouts (10½-14 tahun), Explorer (14-18 tahun), dan Scout Network (18 -25 tahun). Di Malaysia, terdiri dari Pengakap Kanak-kanak (10-12 tahun), Pengakap Muda (13-15 tahun), Pengakap Remaja (16-17½ tahun), dan Pengakap Kelana (17½ – 26 tahun). Di Amerika Serikat (Boy Scout of America), pembagiannya terdiri dari Cub Scouts (5-11 tahun) dan Scouts (12-17 tahun). Anggota yang sudah berusia 14 tahun dapat mengikuti program Venturing dan Sea Scouts (14-20 tahun).
Di Indonesia, anggota Pramuka dihimpun dalam sebuah gugusdepan yang terdiri atas anggota dewasa dan anggota muda berdasarkan golongan usia. Pada awal terbentukanya Gerakan Pramuka, pembagian golongan peserta didik tertuang dalam anggaran dasar sebagai lampiran Kepres RI No. 238 Tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka. Di situ disebutkan bahwa suatu Satuan – belum disebut istilah gugusdepan – terdiri dari tiga bagian, yaitu: anak-anak berusia 8-12 tahun; anak-anak berusia 12-17 tahun; dan pemuda yang berusia 17-21 tahun. Pada Musyawarah Kerja Andalan Pusat dan Daerah (Muker Anpuda) III tahun 1966, peserta didik dibagi menjadi empat golongan, yaitu, Pramuka Siaga (7-10 tahun), Pramuka Penggalang (11-15 tahun), Pramuka Penegak (16-20 tahun), dan Pramuka Pandega (21-25 tahun). Pembagian golongan tersebut berlaku hingga kini.
Dalam kedudukannya, pendidikan kepramukaan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional yang mengambil peran dalam upaya pembangunan kaum muda melalui pendidikan non formal yang melengkapi pendidikan sekolah (formal) dan pendidikan keluarga (informal).
Saat ini, nyaris semua gugusdepan berpangkalan di satuan pendidikan formal. Namun, yang cukup menjadi pesoalan adalah kelompok usia peserta didik dalam Gerakan Pramuka berbeda dengan pendidikan formal. Perbandingannya bisa dilihat pada tabel di bawah ini:
Gerakan Pramuka | Pendidikan Formal |
Siaga (7-10 tahun) | SD (6-12 tahun) |
Penggalang (11-15 tahun) | SMP (12-15 tahun) |
Penegak (16-20 tahun) | SMA (15-18 tahun) |
Pandega (21-25 tahun) | Perti (18-22 tahun) |
Perbedaan pengelompokan usia tersebut berdampak terhadap praktek pembinaan di lapangan. Lazim dianggap saat ini, di anggota pramuka di SD otomatis adalah pramuka Siaga, SMP otomatis Penggalang, SMA otomatis Penegak, dan di perguruan tinggi otomatis Pandega. Kekeliruan ini tentu saja berdampak terhadap proses pembinaan peserta didik.
Di sisi lain, terdapat fenomena siswa SD yang masih berusia Siaga “di-Penggalang-kan”. Hal tersebut masih kita dapati di beberapa daerah, khususnya di luar Pulau Jawa. kegiatan Siaga kurang berjalan aktif sebagaimana mestinya. Golongan Siaga terkesan kurang menarik untuk diurus. Mungkin karena belum diperbolehkan berkemah. Mungin juga karena di golongan Siaga tidak ada kegiatan nasional sebagai tempat orang dewasa pelesiran. Padahal dari segi jumlah, potensi peserta didik Siaga lebih besar dibanding golongan lainnya.
Begitu pula, di golongan Penegak. Karena melihat keseruan sebuah lomba baris berbaris dan pionering, pembinaan di Penegak terasa seperti pembinaan Penggalang. Kegiatan penegak ramai diisi dengan lomba-lomba layaknya Penggalang. Pramuka Pandega sibuk melaksanakan lomba-lomba rasa Penggalang itu. Serasa pramuka hanya berfokus pada golongan Penggalang saja.
Sebuah gugusdepan dapat menghimpun sampai empat golongan peserta didik di dalamnya. Tapi dengan kondisi minimnya pembina saat ini, mengelola satu golongan saja sudah terasa berat. Pelaksanaan kursus bagi pembina juga tidak didasari atas kebutuhan dan jumlah peserta didik tiap golongan.
Dengan kondisi tersebut, apakah pengelompokan golongan yang ada saat ini diubah saja sesuai dengan satuan pendidikan formal? Pihak sekolah tidak perlu bersusah payah mencari pembina sesuai golongan. Birokrasi yang selama ini yang selalu menjadi penghambat jadi lebih sederhana.
Atau golongan Siaga, Penegak dan Pandega dihapuskan saja, tersisa hanya Penggalang. Kwartir melalui pusdiklat cukup membuat kursus mahir penggalang saja, tidak perlu repot-repot melaksanakan kursus golongan lain. (DD)