Sebagai organisasi pendidikan, ujung tombak Gerakan Pramuka ada di gugusdepan. Di gugusdepan, Pembina adalah sosok sentral.
Dalam Petunjuk Penyelenggaraan Gugusdepan Pramuka (SK Kwarnas No. 231 Tahun 2007) ditetapkan bahwa sebuah Perindukan yang berisi 18-24 orang Pramuka Siaga dibina oleh 1 orang Pembina dan 3 orang pembantu Pembina. Sebuah Pasukan yang berisi 24-32 orang Pramuka Penggalang dibina oleh 1 orang Pembina dan 2 orang pembantu Pembina. Sebuah Ambalan yang berisi 16-30 orang Pramuka Penegak dibina oleh 1 orang Pembina dan 1 orang pembantu Pembina. Dan sebuah Racana yang berisi maksimal 30 orang Pramuka Pandega dibina oleh 1 orang Pembina.
Sekarang ada sekitar 1.023.760 orang Pembina Pramuka di seluruh Indonesia, dengan total peserta didik (S, G, T, D) berjumlah 24.012.450 orang (data Puslitbang Kwartir Nasional). Jika dirata-ratakan 1 orang Pembina berbanding dengan 23 orang peserta didik. Khusus di Kabupaten Maros, hingga saat ini tercatat ada sekitar 162 orang yang berkualifikasi Pembina. Sementara peserta didik berjumlah 1288 orang. Rasionya 1 orang Pembina berbanding dengan 8 orang peserta didik. Sebenarnya jika melihat data tersebut, komposisinya cukup ideal.
Namun, kenyataan di lapangan tidak seperti itu. Deretan angka-angka statistik tersebut belum dapat menggambarkan secara utuh kondisi pembinaan kita di gugusdepan.
Hari ini saya mengunjungi salah satu gudep di Maros. Mereka sedang melaksanakan latihan rutin – yang sesuai dugaan – tanpa Pembina. Di situ, sekitar 2-3 kelompok kecil pramuka penggalang tampak berlatih membuat bangunan pioneering. Dilatih oleh beberapa alumni. Potret aktivitas gugusdepan yang demikian sudah lazim terlihat. Hanya sesekali Pembina hadir melihat-lihat proses latihan, syukur-syukur ikut terlibat.
Pembina yang mayoritas berstatus sebagai guru sudah cukup disibukkan dengan berbagai keruwetan tanggung jawab administrasi sekolah. Menyusun RPP, SKP, PMM, dan segala macam istilah-istilah lainnya pun berkelindan dengan urusan keluarga di rumah. Semua itu adalah realita yang tidak boleh dipinggirkan begitu saja.
Jika kita semua sepakat bahwa Gerakan Pramuka sangat penting dalam membentuk karakter generasi muda. Sudah sepatutnya persoalan ini tidak hanya diperbincangkan di dalam forum-forum diskusi dan rapat. Kita bukannya tidak memiliki solusi atas kondisi tersebut. Berlembar-lembar halaman dokumen kajian dan perencanaan stratejik telah banyak dihasilkan. Tetapi semuanya itu tidak akan berarti jika tidak diimplementasikan.
Setiap orang bisa mengambil peran, tanggung jawab organisasi tidak melulu harus dilimpahkan kepada kwartir. Setiap anggota Gerakan Pramuka, di manapun kedudukannya, apapun jabatannya bisa melakukan perubahan-perubahan kecil.
Adik-adik alumni yang mengisi setiap latihan di gugusdepan tidak boleh dibiarkan berjuang sendiri. Mereka adalah sumber tenaga pendidik baru yang akan menjadi Pembina juga di kemudian hari. Bahkan suatu saat mungkin akan menggantikan posisi para anggota dewasa di jabatan yang lebih tinggi. Mereka butuh bimbingan dari kakak-kakaknya yang telah dewasa. Dan yang paling utama, mereka membutuhkan kehadiran Pembina sebagai teladan. Alumni yang telah memasuki usia dewasa, sudah saatnya berani mengambil peran dan status baru sebagai Pembina. Kita harus mendorong pihak sekolah (majelis pembimbing) untuk memberikan kepercayaan itu.
Para Pembina yang saat ini sungguh-sungguh menjalankan perannya, juga perlu disokong oleh seluruh pihak. Saya yakin, bentuk perhatian yang dibutuhkan oleh seorang Pembina pramuka bukan pada nominal rupiah yang didapatkan. Pembina yang berkualitas lahir dari Pelatih Pembina yang berkualitas. Selepas kursus, interaksi antara Pelatih dan Pembina janganlah putus. Untuk mendapatkan hasil terbaik, pelatihan dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang. Artinya, diperlukan pertemuan-pertemuan secara berkala. Karang Pamitran dan Gelang Ajar bisa menjadi wadah berbagi dan saling memotivasi. Tidak perlu anggaran berlimpah, hanya dibutuhkan niat, dan, sedikit kepedulian.
Apakah kita (masih) peduli? (DD)