
Saat sedang duduk-duduk santai kemarin sore, saya dan beberapa teman membuat lomba kecil-kecilan, lebih tepatnya bisa disebut tantangan. Untuk menyambut peringatan Hari Pramuka ke-63, setiap hari kami harus membuat satu karya. Bentuknya sesuai kemampuan dan kesenangan masing-masing. Periode tantangan dimulai hari ini (1/8/2024) sampai 14 hari ke depan. Jadi setiap orang menghasilkan 14 karya saat peringatan Hari Pramuka 14 Agustus nanti.
“Terserah, apa saja, mau puisi, lagu, gambar, apapun boleh, yang jelas satu karya satu hari”, terang saya. Saya sendiri berjanji membuat satu esai setiap hari, seorang teman ingin membuat gambar komik, yang lain membuat model permainan pramuka, dan seorang lagi membuat satu kerajinan setiap hari.
Sebagai wujud nyata kurang kerjaan kegembiraan dalam rangka memperingati Hari Pramuka, tahun ini kami ingin berbagi sesuatu kepada teman-teman pramuka lain. Syukur-syukur bisa jadi inspirasi dan bermanfaat, Kalau tidak, ya, minimal jadi hiburan pribadi saja. Bagi kami, tantangan ini juga menjadi pelampiasan kekecewaan setelah melihat logo Hari Pramuka tahun ini yang lumayan mengganggu mata.
Maka di hari pertama tantangan ini, jadilah saya menulis tentang lomba pramuka. Kenapa topik ini yang pertama saya tuliskan? Bagi sebagian masyarakat kegiatan kepramukaan cukup identik dengan perlombaan. Apalagi memasuki bulan Agustus seperti saat ini. Di setiap kegiatan perkemahan, khususnya pada tingkat ranting dan cabang, selalu diisi dengan kegiatan lomba. Tak kalah intensnya, di sepanjang tahun ramai digelar lomba-lomba kepramukaan.
Memang benar di dalam salah satu metode kepramukaan, pembinaan dilakukan melalui kegiatan kompetisi. Namun beberapa tahun terakhir ini, berbicara tentang lomba pramuka selalu memunculkan kegelisahan bagi saya. Ada rasa kurang nyaman ketika melihat adik-adik peserta didik yang terkesan seperti jejeran mesin yang telah diprogram sedemikian rupaoleh senior-seniornya yang disebut bindap.
Nah di sini sumber awal masalahnya. Orang yang seharusnya membimbing dan membina pramuka adalah pembina dan pembantu pembinanya. Tetapi karena keterbatasan pembina sebagai tenaga pendidik dalam memberikan pengetahuan teknik kepramukaan kepada peserta didik membuat urusan itu diambil alih oleh para bindap. Kebanyakan bindap tersebut belum memahami maksud dan mekanisme pembinaan kepramukaan. Bahkan banyak di antaranya yang belum cukup umur untuk menghadapi peserta didik. Di sisi lain, para pemegang kebijakan organisasi Gerakan Pramuka belum mampu berbuat banyak terkait persoalan pemenuhan kuantitas dan kualitas tenaga pendidik
Latihan rutin di gudep yang seyogyanya dilakukan terpola dalam sebuah proses penanaman nilai-nilai kepramukaan dan pencapaian tanda kecakapan, berubah menjadi latihan persiapan lomba demi lomba. Akhirnya peserta didik hanya diberikan materi yang berhubungan dengan lomba yang diikutinya.
Itu tadi dari sisi pembinaan peserta didik. Bagaimana dengan penyelenggaraan lombanya? Sebagian besar lomba yang terselenggara saat ini tidak dirancang sesuai dengan pola pembinaan anggota pramuka. Dampaknya, bagi yang pernah merasakan lomba pramuka pasti mengamini, sangat jarang ada lomba yang terlaksana tanpa adanya protes dan ungkapan kekecewaan dari peserta. Bahkan sampai memunculkan permusuhan antar gudep selama bertahun-tahun. Hal tersebut tidak mengagetkan jika melihat kondisi bahwa keikutsertaan gudep dalam sebuah lomba didasari oleh ambisi memburu piala. Kekeliruan pola pelaksanaan lomba tersebut seakan menjadi siklus masalah yang tak kunjung dapat terselesaikan.
Lantas apa yang sebenarnya harus dilakukan?
Setiap rangkaian kegiatan kepramukaan sejatinya harus bermuara pada pengembangan spiritual, emosional, sosial, intelektual, dan fisik peserta didik. Hal tersebut dapat dicapai ketika pola pembinaan berjalan sesuai dengan petunjuk penyelenggaraan Gerakan Pramuka. Konsep lomba dalam kepramukaan juga bukan hanya sebatas mencari kelompok terbaik. Sebuah lomba adalah sarana untuk melihat sejauh mana perkembangan setiap individu peserta didik. Di titik itulah peranan penting seorang pembina dibutuhkan.Pembina harus berfungsi sebagai orang yang bersentuhan langsung dengan peserta didik.
Sumber daya manusia dari para alumni besar jumlahnya. Bagi alumni yang merasa memiliki kepedulian dengan adik-adik di gudepnya, mereka harus diarahkan menjadi tenaga pendidik yang berkualifikasi. Memang tidak mudah mengaplikasikan hal tersebut di atas, mengingat kompleksnya persoalan
Namun, masa depan peserta didik sangat tergantung dari kepedulian kita semua untuk berubah. Jangan lagi lomba pramuka yang dilaksanakan hanya untuk memenuhi hasrat pribadi.
Whenever you do lose a game, if you a true scout, you will at once cheer the winning team or shake hands with and congratulate the fellow who has beaten you. (DD)