Di tengah hiruk pikuk pemilu belakangan ini, mungkin yang sering muncul di setiap headline berita adalah kata ‘etika’. Dari beberapa sumber, kata etika berasal dari bahasa Yunani, ethos, yang bermakna kebiasaan. Etika mengacu pada nilai-nilai dan cara hidup yang baik, diturunkan secara temurun dari generasi ke generasi, hingga dimanifestasikan sebagai pola perilaku yang berulang-ulang menjadi sebuah kebiasaan. Perlu digarisbawahi adalah etika tidak hanya sebagai sebuah perilaku yang terus berulang, tetapi sebagai sebuah cara hidup yang baik. Etika juga dipengaruhi oleh standar moralitas sebuah kelompok manusia. Artinya, tolok ukur etika sangat relatif dengan ruang dan waktu. Standar etika orang kota tentu berbeda dengan orang di perdesaan. Begitu pula dengan standar etika masyarakat yang hidup di era orde baru berbeda dengan masyarakat pada era reformasi.
Setiap lapisan masyarakat sudah mahfum dengan perbedaan standar tersebut. Sebagai contoh di Sulawesi Selatan, meskipun berasal dari suku yang sama, volume dan intonasi suara orang Soppeng dan Wajo pada umumnya terdengar lebih lembut dibanding orang Sidrap dan Pinrang. Itu tadi perbandingan dari suku yang sama, bagaimana jika orang-orang suku bugis tadi dibandingkan dengan suku makassar, batak, atau suku lainnya, atau bahkan bangsa dari negara lainnya, sangat relatif.
Dalam kepramukaan, standar nilai-nilainya tertuang dalam kode kehormatan. Setiap butir dalam Tri Satya dan Dasa Darma yang mengandung nilai-nilai moralitas kebangsaan harus menjadi panduan kehidupan bagi segenap anggota pramuka.
Beberapa hari ke depan, Gerakan Pramuka Sulawesi Selatan akan kembali menghelat musyawarah daerah. Sebuah forum yang akan menentukan arah Gerakan Pramuka Sulsel ke depan. Apakah tetap stagnan, maju atau semakin mundur. Sebagaimana diketahui, forum Musyawarah dalam Gerakan Pramuka memiliki tiga agenda utama, yakni: sebagai forum pertanggungjawaban kwartir masa bakti sebelumnya; pemilihan dan penetapan kepengurusan organisasi; dan penetapan rencana kerja organisasi.
Dengan wewenang dan kuasa yang cukup besar, tentu kita ingin para pengurus kwartir daerah sungguh-sungguh menjalankan nilai-nilai kepramukaan sesuai amanat undang-undang dan aturan organisasi. Kita tidak ingin Gerakan Pramuka Sulsel diurus oleh orang-orang yang hanya mengatasnamakan pramuka, tapi menggunakan pramuka untuk keuntungan pribadi dan kelompok tertentu saja.
Sebagai bahan evaluasi, beberapa periode terakhir, Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Sulawesi Selatan sangat jarang melaksanakan kegiatan perkemahan berskala daerah. Secara rinci kita bisa melihat daftar rencana kerja yang dibuat sejak tahun 10-20 tahun lalu, ada berapa yang terlaksana? Peringatan apel setiap tahunnya di tingkat daerah banyak diramaikan dengan parade bagi-bagi penghargaan kepada pejabat yang entah apa sumbangsihnya bagi kepramukaan.
Sudah lebih dari dua dasawarsa kita tidak merasakan Jambore Daerah dan Raimuna Daerah. PW Daerah terakhir kali terlaksana tiga belas tahun yang lalu, Karang Pamitran Daerah entah kapan terakhir dilaksanakan. Sejatinya, titik persoalan bukan hanya sekadar ketiadaaan anggaran-yang selalu menjadi alasan untuk melaksanakan itu semua, tapi nyatanya memang tidak ada kemauan kuat dari sekian pengurus kwartir daerah yang berpuluh-puluh orang banyaknya. Apakah para pengurus Kwarda Sulsel sudah merasa nyaman setelah mendapat label “Andalan Daerah” dan wara wiri mengenakan “jengkol” merah di sakunya? Mudah-mudahan tidak seperti itu.
Selama ini kwartir daerah terkesan hanya sebagai pengurus tiket dan pengurus jaket kegiatan nasional. Rapat kerja yang diselenggarakan hanya nampak seperti acara kumpul-kumpul tahunan, usulan-usulan dari kwarcab menguap dalam setiap ketukan palu sepakat. Kita tentunya masih ingat, saat ketua kwartir daerah sebelumnya yang telah menjabat selama dua periode tetap dipaksakan untuk menjabat di periode ketiga, di mana jelas-jelas melanggar aturan.
Harapan kita, forum musyawarah daerah nantinya betul-betul dapat berfungsi sebagai wahana bertukar gagasan untuk Gerakan Pramuka Sulsel yang lebih baik lagi, Kita tidak ingin forum tertinggi ini menjadi arena gontok-gontokan kepentingan, apalagi jadi tempat bersiasat dan bermufakat jahat.
Sudah berulangkali, kesepakatan yang dibuat di dalam sebuah forum resmi, dilepeh oleh deretan kepentingan tertentu yang tidak berkontribusi nyata bagi organisasi. Pengurus kwartir daerah yang baru nantinya harus menghilangkan pola-pola otoritarian yang sering membuat keputusan sepihak dan akhirnya berimbas negatif. Segala sesuatu berawal dari niat, dijalankan dengan tindakan, diiringi dengan doa. Jika di awal kepengurusan saja lahir dengan tidak mengindahkan aturan yang ada, lalu apa yang bisa kita harapkan nantinya. Kita jelas tidak ingin pelanggaran tersebut menjadi perilaku yang terus berulang hingga menjadi kebiasaan, dan akhirnya masuk ke dalam standar etik yang lumrah.
Pada akhirnya, segala bentuk kritik dan masukan tidak boleh dianggap sebagai sikap antipati. Obat memang pahit rasanya, tapi kadang yang pahit pun bisa menyembuhkan. Cita-cita Gerakan Pramuka sangatlah luhur. Organisasi ini adalah organisasi pendidikan karakter, dan pendidikan adalah keteladanan. Jika kita sebagai orang dewasa bertingkah tanpa mengindahkan nilai-nilai kepramukaan, apa yang bisa diteladani oleh para peserta didik kita?
Berikanlah keteladanan bagi generasi selanjutnya, berikan kebanggaaan bahwa Kwartir Daerah Sulawesi Selatan adalah kwartir daerah yang memegang teguh aturan, utamanya etika moralitas yang sejalan dengan nilai-nilai kepramukaan sebagai anggota pramuka, dan nilai-nilai siri’ na pacce sebagai orang Sulawesi Selatan. (Ardiansyah Hasbi – Pembina Gudep 14-011 Kwarcab Maros)