ArtikelBerita

Baris-berbaris dan Kepramukaan yang Militeristik

Mungkin tidak ada pramuka negara lain di muka bumi ini yang bisa mengalahkan passion pramuka Indonesia dalam hal baris-berbaris. Coba perhatikan pembukaan kegiatan jambore dunia, atau jambore nasional negara lain. Berbeda dengan model upacara yang sering kita lakukan, nyaris tak ada pengaturan barisan. Meskipun namanya “upacara” atau “ceremony”, sepanjang kegiatan peserta cuma duduk selonjoran bersama-sama. Mereka berdiri hanya di momen-momen tertentu, misalnya ketika menyanyikan lagu kebangsaan.

Bandingkan dengan kita di Indonesia, seluruh peserta “upacara” selalu dalam mode barisan berbanjar, lengkap dengan tongkatnya. Seperti senapan laras panjang yang harus selalu melekat di badan tentara. Ditambah lagi dengan tali koor yang disandang di baju –  yang sama sekali tidak menjadi bagian seragam pramuka. Kalau tidak salah, selain tentara, polisi, dan siswa sekolah kedinasan, tali sempritan itu cuma dipakai satpam dan tukang parkir. Meskipun fungsinya beda-beda di tiap pemakainya.

Di setiap acara kepramukaan, kegiatan baris-berbaris tak pernah terlewatkan. Di gugusdepan, kalau tidak tali-temali, pasti latihannya baris-berbaris. Seringnya disebut lkbb (latihan/lomba ketangkasan baris-berbaris). Di pangkalan sekolah dasar, peserta didik yang bahkan belum cukup umur penggalang sudah diberikan tongkat yang tingginya nyaris dua kali lipat tinggi badannya. Untuk apa, tentu saja untuk berbaris.

Kalau baris-berbaris identik dengan kedisiplinan, kenapa masih jarang terihat antrian teratur di sekitar kita. Kalau menyerobot antrian, sering. Acap pula kita alami, suatu kegiatan yang molor karena menunggu pejabat yang datang membuka acara. Apakah orang yang tidak mau antri atau pejabat yang suka terlambat itu tidak pernah latihan baris-berbaris? Bisa jadi.

Baris-berbaris dan hal-hal berbau militer memang sudah identik dengan kepramukaan, khususnya di Indonesia. Lahirnya ide kepramukaan oleh Baden Powell salah satunya terinspirasi dari pembentukan kelompok anak remaja yang membantu tugas tentara saat berada dalam “pengepungan mafeking”.  Javaansche Padvinders Organisatie ─ organisasi kepramukaan pertama yang didirikan pribumi pun dibentuk sebagai tempat pengkaderan calon tentara kerajaan Mangkunegaran.

Di samping fakta-fakta itu, militerisme memang sudah sedemikian mendarah daging di indonesia. Setiap ormas rata-rata punya pakaian loreng. Kalaupun bukan baju loreng, pasti pakaiannya dipenuhi lambang-lambang dengan ornamen sayap kiri kanan. Hingga kini masih bisa kita temui anggota pramuka yang di seragamnya tertempel lambang tunas kelapa dengan ornamen sayap-sayapan.

Apakah betul budaya militeristik itu adalah budaya kita? Jangan-jangan budaya kita sesungguhnya adalah budaya otoriter. Harus patuh pada perintah, dan tidak boleh melakukan apa-apa kalau tidak ada perintah.

Kedisiplinan senantiasa ditanamkan kepada peserta didik, tapi seringkali kita lupa mengajarkan kedisiplinan dengan keteladanan. Kedisiplinan sejati adalah kedisiplinan yang muncul dari diri sendiri, tanpa aba-aba petunjuk, peringatan, dan pelaksanaan. Baris-berbaris identik dengan kedisiplinan. Tapi apakah kedisiplinan hanya bisa dilatihkan melalui baris-berbaris? Jawabannya tentu tidak sederhana, perdebatan akan panjang.

Mungkin kita perlu mengevaluasi kembali metode kita mengajarkan kedisiplinan. Kepramukaan bertujuan untuk membentuk karakter. Tapi karakter dibentuk bukan hanya melalui keteraturan dalam baris-baris, tapi melalui penerapan metode kepramukaan secara komprehensif dalam latihan di gugusdepan. 

Metodenya dilakukan melalui aktivitas belajar sambil melakukan dengan berkelompok, bekerjasama, dan berkompetisi, kegiatannya diupayakan menarik dan menantang yang dilakukan di alam terbuka. Kemudian memastikan kehadiran orang dewasa yang memberikan bimbingan, dorongan, dan dukungan dengan pemberian penghargaan berupa tanda kecakapan. Seluruh rangkaian itu dilakukan dengan pola satuan terpisah antara putra dan putri dan penggunaan kiasan dasar yang bermuara pada pengamalan kode kehormatan dalam kehidupan sehari-hari.

Saya pernah melihat sebuah video di youtube tentang pasukan terakota. Pasukan terakota adalah barisan 8.099 patung tentara Tiongkok kuno di dekat makam dari kaisar pertama dinasti Qin. Dibuat tahun 210-209 sebelum masehi, patung-patung itu masih terlihat gagah dengan pakaian dan perlengkapan perang. Dari ribuan patung, tidak ada satu patung pun yang mirip. Mitos masyarakat di sana, pasukan terakota adalah wujud tentara asli yang membatu. Meski cuma mitos, tapi bayangkan saja jika orang-orang itu mati membatu, dalam keadaan berbaris pula.

Tentu saya tidak menganalogikan pramuka seperti patung pasukan terakota. Tapi kalau kita hanya melihat baris-berbaris sebagai kegiatan repetitif dan ajang gagah-gagahan. Apa bedanya pramuka dengan batu-batu itu? (Dd)

Related Articles

Back to top button