ArtikelBerita

Dokter Moewardi, Perintis Persatuan Pandu Indonesia

“Perloe kami katakan disini, bahwa Kepandoean Jong Java pertama dari moela-moelanja bermaksoed oentoek mentjampoerkan dirinja dengan Kepandoean Indonesia oemoem…”.

“…Pandoe jalah saudaranja Pandoe lainnja, maka ta’ ada pentjarian lagi bagi ia selainnja selekas-lekasnja mengoempoelkan saudara-saudaranja itoe menjadi satoe”.

Petikan tulisan dari dr. Moewardi yang terdapat dalam buku Gedenkboek Jong-Java 1915-1930  (https://www.kompasiana.com/bertysinaulan/sejarah-history-dan-his-story-dari-dr-moewardi) itu menggambarkan tekad seorang pandu (pramuka) sejati yang sejak awal bercita-cita mewujudkan persatuan organisasi kepanduan yang pada saat itu masih terpecah-pecah karena perbedaan asas dan ideologi.

Moewardi paham betul, untuk mendidik karakter generasi muda melalui pendidikan kepanduan dibutuhkan persatuan dan kesatuan di antara seluruh anggotanya.

Moewardi aktif sebagai padvinder NIPV sejak duduk di kelas 5 ELS (setingkat SD) di Pati, Jawa Tengah. NIPV pada saat itu memang didirikan di sekolah-sekolah pemerintah kolonial Hindia Belanda. Karena kecakapan, kedisiplinan, dan keuletannya, ia menjadi asistant troep leider (wakil pemimpin pasukan). Sesuatu yang jarang terjadi di masa itu karena dia berasal dari kalangan pribumi sementara teman-temannya kebanyakan adalah keturunan Belanda. Saat akan diangkat sebagai pemimpin pasukan, Moewardi menolak karena dia harus mengucapkan sumpah setia kepada Ratu Wilhelmina Belanda. Akhirnya dia keluar dari NIPV.

Setamat di ELS, Moewardi kemudian melanjutkan pendidikannya di sekolah kedokteran STOVIA, Jakarta (waktu itu masih bernama Batavia). Saat menjadi pelajar STOVIA itu, Moewardi semakin aktif dalam aktivitas pergerakan nasional. Ia kemudian bergabung dalam organisasi Jong Java, hingga menjadi komisaris besar Jong Java Padvinderij (organisasi bentukan Jong Java).

Menurut Moewardi, sejak berdirinya sebenarnya Jong Java Padvinderij (JJP) bermaksud menggabungkan diri kepada organisasi kepanduan yang bersifat umum, yaitu Nationale Padvinders Organisatie (NPO), yang pengurusnya berkedudukan di Bandung. JJP berpendapat bahwa sebaiknya hanya ada satu organisasi kepanduan di Indonesia. JJP sudah berkali-kali berkirim surat agar pengurus NPO segera mengirimkan peraturan-peraturan dan tanda-tanda kepada JJP Jakarta, tetapi pengurus tersebut tidak memberikan apa yang diminta kepadanya (Dr. Moewardi, 1980).

Pada tahun 1929, JJP mengadakan kongres yang memutuskan bahwa JJP berdiri sendiri dan terpisah dari Jong Java. Sejak itu pula, Jong Java Padvinderij berganti nama menjadi Pandoe Kebangsaan.

Berawal dari Pandoe Kebangsaan, Moewardi terus berupaya mendorong peleburan organisasi-organisasi kepanduan di tanah air. Atas usahanya itu, Pandoe Kebangsaan bersama dengan Indonesisch Nationale Padvinvers Organisatie (INPO) dan Pandu Pemuda Sumatera (PPS) melebur menjadi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Penyatuan organisasi itu belum sepenuh ya berhasil karena masih banyak organisasi kepanduan lain yang menolak untuk meleburkan diri.

Dalam perkembangannya KBI senantiasa mengupayakan persaudaraan di antara semua organisasi kepanduan. Melalui KBI, Moewardi kemudian memprakarsai kegiatan Perkemahan Indonesia Oemoem (Perkino) I pada tahun 1941 yang melibatkan seluruh pandu dari seluruh organisasi kepanduan. Jadi sebelum Jambore Nasional 1973 di Situbaru, dan Jambore Nasional Pasar Minggu tahun 1955, Perkino adalah perkemahan besar pertama yang dilaksanakan di Indonesia. Perkino juga adalah salah satu tonggak penyatuan pandu-pandu seluruh Indonesia.

Setelah melalui proses panjang, persatuan organisasi kepanduan yang terpecah-pecah akhirnya tercapai pada tahun 1961. Saat itu, semua organisasi kepanduan menyatakan bersatu dalam wadah Gerakan Pramuka.

Sayang, bersatunya organisasi kepanduan seperti yang dicita-citakan tidak bisa disaksikan langsung oleh Moewardi. Ketika Negara Indonesia sedang dilanda pemberontakan PKI di awal-awal masa kemerdekaan. Moewardi yang sedang melakukan operasi di sebuah rumah sakit di Jebres, Solo, diculik oleh beberapa pemuda tak dikenal. Belakangan diketahui pemuda-pemuda itu adalah bagian dari aksi pemberontakan PKI pada tahun 1948 di Madiun dan beberapa kota di Indonesia. Sejak saat itu, Moewardi tak pernah kembali lagi.

Dokter Moewardi, kecil orangnya, tetapi tegas dalam segala tindakannya. Kawan-kawannya, tua maupun muda, yang pernah bekerja sama di kalangan kepanduan sangat hormat dan sayang kepadanya. Terkenal keuletannya untuk mempertahankan pendiriannya dan menyelenggarakan segala usaha guna menyempurnakan organisasinya, baik organisasi kepanduan maupun organisasi lain yang di bawah pimpinannya. Dan ini menimbulkan rasa hormat di kalangan kawan dan lawannya terhadapa dirinya. Terhadap siapapun dr. Moewardi bersikap ramah tamah, tetapi tidak meninggalkan zakelijkheid (aturan). Dalam mempertahankan pendiriannya, terutama mengenai soal-soal yang prinsipil, dokter kecil itu tak mau kenal perkataan kompromi. Rintangan yang bagaimanapun sanggup ia mengatasinya dengan pertanggungjawaban yang penuh” (Buku Peringatan Pantja Warsa Pandoe Rakjat Indonesia). (Dd)

Related Articles

Back to top button