
Sore itu hujan turun di Maros. Saya dan seorang teman menepi di sebuah kafe, menyeruput kopi hitam jahe sambil berdiskusi panjang tentang hasil Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) Kwarcab Gerakan Pramuka Maros yang baru saja berlalu. Topik pembicaraan berbelok ke satu hal yang jarang dibicarakan: betapa beratnya menjadi Pembina Pramuka. Mereka harus menyiapkan materi, membuat kegiatan yang menarik dan menantang, memikirkan metode agar dapat diterima dengan baik oleh peserta didik, sekaligus memperhatikan setiap anak sebagai pribadi yang unik, dengan minat, kelemahan, dan potensinya masing-masing, begitu kompleks.
Namun di sisi lain, mereka juga manusia biasa. Mereka punya pekerjaan, keluarga, dan tanggung jawab hidup yang menuntut perhatian. Maka, di tengah segala kompleksitas itu, muncul satu pertanyaan yang menggugah kami: ‘Apakah pembina yang ideal adalah pembina yang telah selesai dengan dirinya sendiri?’ Pertanyaan yang cukup menjadi pengganti kopi untuk membantu saya tetap terjaga menunggu pertandingan Real Madrid vs Valencia CF.
Dari Pedagogis ke Eksistensial
Pertanyaan ini sebenarnya sudah keluar dari ranah pedagogis kepramukaan; ia menyentuh wilayah filsafat eksistensial. “Man is nothing else but what he makes of himself”, ungkap Sartre dalam Existentialism is a Humanism (1946). Eksistensialisme berbicara tentang bagaimana manusia ‘menjadi manusia’ melalui kesadaran akan hidupnya. Prinsip dasarnya adalah eksistensi mendahului esensi. Manusia tidak lahir dengan makna tertentu. Ia menjadi bermakna lewat tindakan dan pilihan-pilihannya. Artinya, secara hakikat, manusia tidak akan pernah selesai dengan dirinya sendiri.
Selama manusia hidup, ia terus menafsirkan dirinya, mencipta esensi baru dari keberadaannya. Maka, ketika kita berkata ‘pembina yang ideal adalah yang telah selesai dengan dirinya’, kalimat itu terdengar indah, tapi terlalu ideal. Tak ada manusia yang benar-benar selesai. Justru pembina belajar menyelesaikan dirinya melalui proses membina.
Ketika ia sabar mendampingi anak-anak yang sulit diatur, ketika ia tetap hadir meski lelah, ketika ia mengajar bukan karena wajib tetapi karena cinta, saat itulah ia sedang menjalani proses penyelesaian diri. Pembina bukanlah sosok yang sempurna, melainkan sosok yang terus belajar menemukan kesempurnaan dalam kehadirannya bagi orang lain.
Menjembatani Gagasan ke Ranah Teknis
Eksistensialisme adalah jawaban filosofisnya, ia menjelaskan mengapa pembina harus hadir secara sadar dan bermakna. Namun, jika kita ingin benar-benar menerapkannya, maka gagasan ini perlu dijembatani ke ranah praktis-teknis.
Ada dua hal penting di sini. Pertama, kembali ke pembina itu sendiri. Bagaimana ia berkomitmen untuk terus tumbuh, menjaga keseimbangan, dan menata ulang prioritas hidupnya. Menjadi pembina bukan berarti meniadakan diri, melainkan menghadirkan diri secara sadar, tahu batas energinya, tahu kapan beristirahat, tahu bahwa keikhlasan tidak berarti mengabaikan diri sendiri.
Kedua, dan ini yang paling krusial, adalah kolaborasi. Kehadiran para pemangku kepentingan seperti kwartir, majelis pembimbing, hingga pemerintah harus menjadi bagian dari proses ini. Mereka yang memiliki kewenangan mengatur kebijakan dan panduan di Gerakan Pramuka perlu senantiasa memudahkan pekerjaan Pembina, yang sejatinya adalah garda terdepan pendidikan kepramukaan.
Prinsipnya sederhana, jangan membuat pembina semakin rumit bekerja, tapi bantu mereka bekerja dengan lebih mudah dan bermakna. Setiap panduan, kebijakan, atau peraturan yang lahir sebaiknya berpijak pada tiga lapis kemudahan: 1. Kemudahan Memahami — bahasa yang jelas, tidak berbelit, dan mudah dipahami oleh siapa pun; 2. Kemudahan Melaksanakan — panduan implementasi yang realistis, aplikatif, dan relevan dengan kondisi lapangan; dan 3. Kemudahan Mengembangkan — ruang bagi inovasi dan adaptasi, agar pembina bisa menyesuaikan kegiatan dengan konteks peserta didiknya.
Dengan struktur seperti ini, pembinaan generasi muda melalui pendidikan kepramukaan benar-benar menjadi tanggung jawab bersama. Tidak ada pihak dalam Gerakan Pramuka yang menanggung beban lebih berat sementara yang lain berjalan ringan. Semuanya adalah kerja kolektif, dipikul bersama.
Seorang pembina tak harus selesai dengan dirinya sendiri. Cukuplah ia menjadikan ‘hadir untuk orang lain’ sebagai bagian dari perjalanan menyelesaikan dirinya. Namun agar itu mungkin, lingkungan Gerakan Pramuka juga harus hadir untuknya, mendukung, memudahkan, dan menyalakan semangatnya. Karena pendidikan kepramukaan hanya bisa tumbuh bila ada sinergi antara idealisme dan sistem, antara makna dan metode, antara pembina yang hadir dengan hati dan struktur yang hadir dengan empati. Kata Baden Powell, “The real way to gain happiness is to give it to others” (Last Massage to Scout, 1941). Dan barangkali, cara terbaik untuk memberi itu, adalah memudahkan sesama yang sedang memberi.
(Andi Sungkuruwira Batara Unru, S.T.)








