
Gerakan kepanduan telah menjadi wadah utama pembentukan karakter generasi muda yang mampu bertahan lebih dari satu abad, menyebar ke seluruh penjuru dunia dengan gagasan yang mudah diterima dan mencair pada segala perbedaan adat dan budaya. Di dalam kepanduan, kita mengenal sebuah falsafah mahsyur yang berbunyi ‘be prepared‘. Sebuah falsafah yang disadur dari salah satu buku karangan Bapak Pandu Sedunia – Lord Baden Powell yang berjudul Scouting For Boys (1908). Kutipan itu kemudian menjadi motto dari gerakan yang sampai saat ini telah beranggotakan kurang lebih 50 juta anggota dari 156 negara di dunia. Di Scouting For Boys, dijabarkan secara lengkap mengenai makna dari kata ‘be prepared‘, dan mengapa kutipan itu menjadi sangat penting dalam menggambarkan bagaimana seorang pandu atau pramuka dalam berkehidupan.
”…Be Prepared, which means you are always in a state of readliness in mind and body todo your duty; Be Prepared in mind by having discipline yourself to obedient to every order, and also by having thought out before hand any accident or situation that occur, so that you know the right thing to do at the right moment, and are willing to do it. Be Prepared in body by making yourself strong and active and able to do the right thing at the right moment, and do it…”
Dalam kehidupan manusia Bugis-Makassar, ada pula falsafah mahsyur yang berbunyi ‘kualleangi tallanga na toalia‘ yang secara harfiah berarti ‘lebih baik tenggelam daripada kembali’. Dalam penafsirannya, kutipan ini bukanlah bentuk keangkuhan, melainkan wujud kesiapsediaan yang tertanam di dalam diri masyarakat Sulawesi Selatan. Sebuah bentuk keyakinan akan kesiapan dirinya dalam menghadapi tantangan dengan segala kesiapan mental dan fisik untuk memutuskan dan melaksanakan sesuatu. Filosofi ini menjadi manifestasi dari nilai-nilai kearifan lokal yang mengkonstruksi karakter manusia yang gigih, berani, bertanggungjawab, dan pantang menyerah. Filosofi ‘kualleangi tallanga na toalia‘ sedianya adalah elaborasi dari nilai-nilai kultural Bugis-Makassar yang kompleks, terlahir dari beberapa pondasi nilai yaitu diantaranya:
Siri’
Dalam arti keseharian, siri’ bermakna malu; harga diri; rasa segan. Dalam perspektif kebudayaan, siri’ menanamkan suatu komitmen agar seorang pribadi dapat mempertahankan dengan teguh nilai-nilai guna menjaga harkat dan martabatnya sebagai seorang manusia, melanggar nilai adalah pantangan yang dapat mencoreng harga diri,
sehingga siri’ adalah ketentuan mutlak bagi manusia Bugis-Makassar. Hal ini selaras dengan komitmen anggota Gerakan Pramuka dalam mempertahankan nilai-nilai organisasi dan kode kehormatan Gerakan Pramuka. Diperlukan pondasi yang kuat bagi anggota Gerakan Pramuka untuk menjaga dan mengimplementasikan satya dan darma Pramuka
Pacce
Kata ini secara harfiah bermakna pedih; perih; belas kasih. Pacce menurut istilah bermakna perasaan empati dan simpati dalam interaksi sesama manusia, Pacce menjadi pondasi hubungan emosional antar manusia yang kuat, sebuah kerangka yang membentuk karakter persatuan, kebersamaan, kesetiaan, solidaritas, dan humanisme yang universal. Maka dari itu seringkali nilai ini disampaikan dengan kalimat ‘pacce nu pacce ku tong‘, yang memiliki arti ‘perihmu adalah perihku juga’. Nilai ini sesuai dalam pelaksanaan organisasi Gerakan Pramuka, dimana prinsip dasar dan metode kepramukaan dibangun pada dasar yang tegas mengenai hubungan horizontal antar manusia, dijelaskan secara lugas dalam darma “cinta alam dan kasih sayang sesama manusia”.
Kedua abstrak ini kemudian menjadi nilai yang dwitunggal, ‘Siri na Pacce‘, yang merupakan unsur pembangun utama dari karakter seorang pribadi yang memegang teguh prinsip ‘Kualleangi Tallanga na Toalia‘. Keterkaitan yang erat di antara prinsip dari kepramukaan dan prinsip manusia Bugis Makassar inilah yang mewujudkan akulturasi, dimana kepramukaan menghadirkan sebuah metodologi. Nilai-nilai kultural Bugis Makassar membentuk landasan moralnya, sehingga tercipta sebuah gerakan yang paripurna di bumi Sulawesi Selatan dalam rangka pembinaan generasi muda untuk senantiasa bersiap sedia dalam mengarungi lautan kehidupan tanpa takut untuk tenggelam, dan menghadapi berbagai ombak tantangan di masa depan, tanpa keraguan.
Karena sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai.
Kualleangi Tallanga na Toalia. (Andi Sungkuruwira Batara Unru – Sekretaris DKD Sulsel)